friskainspiration

Just other sides of my life

Kotak Cinta dari Athena

Ketika ia pergi saat kau butuh, ia tak ada saat kau gelisah bukankah itu pertanda bahwa kami memang tak sejalan. Jalan selalu terbentang luas namun wajar ketika bertumbuh kita berada di aspal yang berbeda. Jikalau di ujung sana cabang jalan ini kembali bertemu, bisakah kita memanggilnya takdir? Atau bolehkah sedikit lebih jelas kupanggil dengan jodoh?

Memang tidak mudah memaafkan atas ingkarnya janji. Namun jika janji tak pernah diucapkan apa yang perlu ditagih? Ini hanya tentang keyakinan. Keyakinan adalah ketika sesuatu tak tampak namun kita tetap mempercayainya. Keyakinan adalah ketika kata itu tak pernah muncul namun kita mampu merasakannya. Jikalau aku mengerti itu dari awal maka tak perlu untuk kedua kalinya kami duduk di tempat yang sama ini, pelataran bangunan kotak ini, dengan menatap senja ufuk barat.

“Saat itu saya butuh waktu untuk menenangkan jiwa, saya percaya, seperti juga mencintai, melupakan juga harus diupayakan. Namun ketika daya dan upaya itu telah habis namun tak kunjung menghasilkan saya harus tunduk bahwa hati ini tak bisa dimanipulatif. Saya juga telah lama menunggumu”, hembusan angin sore menyapa setiap kata yang muncul dari sang Athena, dewa pemberi kehidupan.

Dimas tersenyum melihat Areta. Dimas tau ini hanya masalah waktu, ia yakin kelak Areta akan mengerti tentang semua langkahnya, semua tindakannya, semua didasari oleh sebuah cinta yang tak terintimidasi oleh nafsu duniawi, tapi rasionalitas. Sore ini mendung, kedua sejoli itu adalah teman bertumbuh yang kembali menemukan ujung jalan yang sama dari cabang yang berbeda. Mentari perlahan turun menutup hari. Senja.

Areta masih diam memandangi handphonenya. Kira-kira siapa orang tadi siang yang belum juga ia ladeni permintaan pertemanannya. 0803_simda@yahoo.com. Mungkin juga orang tua siswa. Beginilah menjadi guru pengabdian 24 jam sehari dan 7 kali seminggu. Mendidik tidak hanya di sekolah tapi juga di rumah. Setiap hari ada saja orang tua yang menanyakan kondisi anak-anaknya. Bahkan Areta dan orang tua siswa seringkali melakukan percakapan melalui telepon, SMS ataupun chatting hingga larut malam. Bagi Areta ini kebahagiaan, berbagi dan bermanfaat untuk sesama.

Areta memandangi handphonenya, kembali ia lihat nama itu,  0803_simda@yahoo.com. Simda, nama yang aneh. Jika ini orang tua murid pasti ia akan kirim sms jika memang penting. Kemudian Areta berubah pikiran, sedikit melunak. Ia tekan accept pada permintaan itu. Tak muncul sebuah sapaan apapun. Areta terdiam sejenak. Sudahlah, memang mungkin hanya iseng saja. Areta meletakan handphonenya di atas meja kerjanya. Ketika hampir terlelap, handphonenya berbunyi.

0803_simda : Hai

Areta_athena : Ya, ini siapa?

0803_simda : Pembaca setia blog kamu

Areta_athena : Oh, terima kasih. Siapa namamu?

Lama sekali jawaban itu datang. Areta menunggu satu menit, dua menit hingga kemudian muncul balasan.

0803_simda : Panggil saja Hermes.

Areta kaget, namun kemudian tertawa lepas. Hermes. Jika Athena adalah nama dewa dalam Mitologi Yunani sebagai pemberi kehidupan maka Hermes adalah pemberi kecerdikan dan keberanian.

Areta_athena : Semoga saya tidak dalam kehidupan Cylical

0803_simda : tidak, kita berada dalam kehidupan linear

Areta_athena : ok, panggil saya Athena. Adil?

Kehidupan cylical adalah kehidupan abadi, tidak ada awal dan tidak ada akhir. Inilah adalah kehidupan para dewa, kekal abadi. Sedangkan linear adalah kehidupan manusia di bumi seperti kita, berawal dan berujung.

Areta tersenyum sederhana, ia seperti menemukan bagian jiwanya yang hilang. Obrolan di dunia maya itu menjadi sangat panjang. Areta merasa sangat nyaman berbicara dengannya. Orang ini begitu hangat untuk Aretha. Seperti sudah mengenalnya sangat lama. Semenjak saat itu Areta seringkali menyapanya jika tengah tak sibuk. Ya, siapapun dia, sosoknya mampu mengisi ruang kosong di hatinya.

Masa itu, tujuh tahun lalu. Mungkin ini kisahnya yang paling getir. Untuk pertama kali dalam hidup Areta ia merasakan rasa ini. Gadis 16 tahun, lugu belia. Jatuh cinta. Baginya rasa ini kontradiktif dengan istilah “jatuh”. Ia tak merasa sedang terjerembab dalam satu lubang galian pipa pinggir jalan, juga tak merasa jatuh ke dalam kubangan. Tapi mengapa namanya “Jatuh”.

Satu sore si ibu melihat gadisnya yang tumbuh dewasa.  Sebagai ibu ia tau persis apa yang sedang melanda si anak. Senyumnya, tawanya, riangnya, ini tak biasa.

“Jatuh cinta lah karena Tuhan menganugrahkan rasa itu padamu. Tapi ingatlah, nak, orang yang berani jatuh cinta harus siap patah hati”, Ibu memberikan wejangan sore hari pada sang putri. Areta tersenyum getir. Ada benar, tapi ada bantah di lubuk hati sana.

“Kenapa namanya Jatuh, Bu?”

“Karena ketika dia datang rasa itu bergerak tidak terkendali seperti gaya gravitasi bumi, tak satupun dari kita mampu menolak.”

Bukan ibu jika tak tau apa yang terjadi pada anaknya kelak. Mencintai dan melupakan adalah proses pendewasaan anak manusia. Dalam cinta kita belajar ikhlas, dalam sakit kita belajar bangkit. Kisah ini akan berakhir, dia akan belajar bagaimana rasanya berdiri tanpa dipapah, tanpa pegangan, tanpa bantuan. Saat itu hanya rasionalitas yang berkata.

Sampai suatu sore anak gadis itu menangis. Ibu datang menghampiri,  memberi pelukan hangat. Areta yang sedang bertumbuh kini sedang belajar menahan sakit. Ia tau putrinya marah, kecewa dan sakit.

“Sudahlah, sayang. Ibu yakin dia menyayangimu tapi dengan caranya. Ikhlas dan bangkitlah”.

Ada duka, luka, tangis yang ingin meledak. Besok Dimas akan berangkat tapi baru hari ini dia mengatakan pada Areta. Kini ia tau, ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis yang menanti tanpa harapan. Hampir habis daya Areta untuk membuktikan padanya betapa ia menyayangi Dimas.

“Jika saya kembali dari Belanda, Areta pasti orang yang saya temui pertama”. Dimas menutup pembicaraannya di telepon bersama Areta.

Tangis pilu Areta meledak tak tertahankan. Tahukah rasanya tak dihargai, tak dicintai, tak dianggap ada. Begitulah yang dirasakannya saat ini.

Di sana, di ujung telpon Dimas juga merasakan pilu yang sama. Namun Dimas yakin, ia akan kembali menemui Areta, pasti. Di hatinya ia merasa bersalah karena telah membuat Areta tersiksa, tak pernah ada pernyataan apapun darinya tentang hubungan mereka berdua.  Dimas punya alasan, kelak Areta akan tau itu.

Saya menghargai dan menyayangimu, sehingga beginilah saya memperlakukanmu Areta. Percayalah Areta, saya akan kembali untukmu.

Pagi itu Areta terpaku menatap teman hidupnya. Laptop. Seperti terguyur angin segar di pagi hari, Areta dengan mantap merajut kata dalam blog-nya. Hatinya memang sedang dirudung kegalauan dan kegelisahan. Emosi ini karena sang bunda kini sedang terbaring di rumah sakit. Areta menumpahkan rasa sedih dan khawatirnya di dalam kotak cintanya. Ya begitulah Areta menyebut blognya. kotakcintadariathena.wordpress.com. Kotak cinta dari Athena, Athena adalah nama belakangnya. Aretha Athena. Dengan cinta ia menulis, dengan cinta ia memiliki inspirasi, dengan cinta ia berkarya dan semua cinta ia masukan ke dalam kotaknya.

Selang beberapa menit setelah ia selesai menulis blognya muncul pemberitahuan e-mailnya. Ia buka, kemudian muncul nama itu.

To : Areta_athena

From : 0803_simda@yahoo.com

Kotak Pandora

Saya baru saja membaca blogmu. Ini sebagai hadiah karena kamu telas menulis kesedihan dengan indah.

Zeus sebagai bapak para dewa menciptakan sebuah patung. Zeus senang dengan kesempurnaan patung itu dan lantas memberi patung itu kehidupan. Patung itu sendiri bentuknya lebih kecil dari ukuran manusia. Patung yang sudah diberi kehidupan itu diberi nama Pandora. Pandora dititipi pula sebuah kotak rahasia yang tak boleh dibukanya. Kemudian Zeus  menghadiahkan patung Pandora itu pada Ephimetus. Pandora dan Ephimetus hidup bersama. Pandora masih tetap taat pada perintah Zeus untuk tidak membuka kotak itu. Tapi, lama kelamaan, pandora penasaran dengan apa isi kotak yang dititipkan padanya. Lalu dibukalah kotak tersebut. Dari dalam kotak keluar semua rupa macam keburukan, seperti penyakit, wabah kesedihan dan keputusasaan. Sejak saat itu, bumi mulai mengenal penyakit dan segala keburukan hidup lainnya. Hanya saja, ternyata, di dalam kotak itu juga masih ada satu benda lain. Benda itu kecil bentuknya. Namanya “harapan”. Benda inilah yang kelak digunakan manusia di bumi untuk terus bertahan dari segala macam penyakit, wabah, dan kesedihan

Areta tersenyum melihat e-mail dari Hermes. Kemudian Areta membalas e-mailnya.

To : 0803_simda

From : Areta_athena

Re-Kotak Pandora

Berawal dari sebuah patung, Pandora kini menjadi hidup. Tak hanya Zeus yang beperan dalam diri Pandora. Berkat bantuan seorang Dewa, Pandora memiliki keberanian. Dewa itu  bernama Hermes.

Di sana, di benua yang sama, tanah yang sama Hermes membalas e-mail Areta.

To : Areta_athena

From : 0803_simda

Re-Kotak Pandora

Sebelum Hermes datang memberikan keberanian kepada Pandora ada seorang dewa yang juga menghadiahinya sebuah ketangkasan kepada Pandora. Namanya Dewa Athena.

Mereka saling tersenyum di tempat duduk masing-masing. Namun ada satu dari mereka yang tersenyum getir. Takut dan rindu. Mungkinkah jika ia kembali. Masih samakah rasa itu?

Mobil mereka terpakir di sebuah lapangan seadanya, di sekitar ada anak-anak usia sekolah dasar sedang bermain bola dengan bola plastik yang sudah tak layak. Tak jauh di pinggir lapangan ada tali-tali yang terjejer rapi dengan baju-baju yang tertiup angin di atas talinya. Lapangan multifungsi. Parkiran, tempat bermain bola dan tempat jemuran rakyat. Inilah kondisi nyata Jakarta. Sempitnya lahan ibukota membuat rakyatnya menjadi kratif dan legowo. Tak mempersalahkan apalagi memperdebatkan lahan yang tidak tepat guna itu.

Mereka harus melewati gang sempit untuk mencapai Rumah Baca yang dimaksud. Sore itu, kami pulang sekolah dengan seragam putih dan abu-abu. Masih beraroma matahari melewati gang sempit dan padat yang letaknya di jantung ibukota. Sampailah kami di sebuah rumah sederhana bertuliskan Rumah Baca Istana. Tanpa diduga sebelumnya oleh Areta, kehadiran mereka, lebih tepatnya kehadiran Dimas disambut antusias oleh anak-anak kecil di sana.

“Kak Dimas!” Suara celoteh mereka membahana ditelingaku. Semua datang memeluk Dimas yang berpeluh keringat. Mereka berebut bercerita, ingin menjadi yang paling didengar oleh Dimas.

“Kak Dimas aku punya kura-kura baru”.

“Kak Dimas aku baru beli baju yang ada sayapnya”.

Dimas hanya tersenyum melihat semua anak-anak itu. Areta memandangi Dimas. Dari sudut matanya Dimas melihat sebaris senyum milik Areta.

Ini adalah Rumah Baca yang dimilliki oleh sekolah mereka. Sebagian siswa tertarik melibatkan diri di sini. Termasuk Areta. Mereka, Areta dan Dimas diperkenalkan oleh seorang guru sampai akhirnya mereka datang ke tempat ini. Dimas satu tahun tingkat di atas Areta.

“Kamu mau jadi guru?” Tanya Areta polos.

“Jika tidak ditakdirkan menjadi guru, semua ilmu dan pengalaman ini bermanfaat nanti kalau saya menikah dan punya anak, bukan?” Jantung Areta berdesir. Tuhan, tolong kirimkan lelaki seperti ini untuk menjadi suami saya.

Sore itu berjalan begitu cepat, mobil yang dikendarai Dimas melaju dengan cepat menuju rumah Areta di bilangan Wijaya.  Tepat di depan rumah Areta mobil Dimas berhenti.

“Terima kasih, Dimas.” Ucap Areta.

Itu pertemuan Areta pertama kalinya dengan dia. Lelaki yang kini pergi. Sejak saat itu Areta begitu tertutup, begitu dingin. Ia tak pernah berani jatuh, jatuh cinta membuatnya begitu terluka. Keberanian itu kelak muncul, namun dalam dunia yang berbeda.

Jikalau Areta berani menyapa Hermes adalah karena Hermes begitu maya untuknya. Justru karena ia tak nyata Areta mampu berbagi. Tak ada takut kehilangan, tak ada rasa khawatir ditinggalkan. Yang ada hanya segenggam rindu untuk bersapa, namun jika suatu hari ia pergi, rindu ini pun tak terlampau kuat, pasti ia akan ikut berbaur terbang bersama angin. Cinta dalam maya.

Berbeda dengan Areta, bagi Hermes sosok Areta begitu nyata untuknya. Setiap kata yang tertulis dalam e-mail Areta begitu lekat. Namun kadang seperti menjauh pergi untuk kemudian datang lagi. Dimas membaca blog milik Areta. Blog itu sebuah perjalanan, bagaimana ia bisa bangkit dari sebuah keterpurukan hingga kini ia mampu berdiri tegak. Kemudian Hermes menuliskan sebaris kata untuk ditanyakan. Ia memulai chattingnya.

0803_simda : Athena, apa sedang sibuk?

Areta_athena : Ya! Ada apa Hermes?

0803_ simda : Baru saja membaca blogmu. Blogmu sebuah perjalanan kehidupankah?

Areta_athena : Betul sekali, Hermes.

0803_simda : Menurutmu apa itu cinta?

Areta terdiam sejenak memandangi handphonenya. Sudah lama ia melupakan apa itu cinta. Areta tak langsung membalas obrolan itu. Ia memutar memorinya, ada dia, kenangan itu.

Areta_athena : Cinta itu adalah ketulusan. Ketulusan untuk memberi tanpa minta berbalas.

0803_simda : Ya, saya bisa lihat itu dalam tulisanmu. Saya suka sekali dengan tulisanmu. Aku mencarimu dalam luasnya cakrawala, namun aku hanya menemukan indahnya rajutan galaksi. Aku mencarimu dalam lautan luas tapi aku hanya mendapatkan mewahnya terumbu karang. Kemudian ku tutup mata dan ku buka mata hatiku,  maka di sanalah aku akan menemukanmu, jauh di dalam sana. Untuk siapa kata-kata itu?

Areta_athena : untuk seseorang yang telah mengajariku arti keikhlasan

0803_simda : jika dia kembali, adakah maaf untuknya?

Areta_athena : Jika salah itu tak pernah ada, bukankah tak perlu ada maaf. Saya yakin jauh di sana dia sedang belajar menghargai.

0803_simda : masih kah kamu mencintainya?

Areta_athena : Tuhan meminta saya menjaga hati ini untuk diberikan kepada seseorang, saya yakin itu adalah dia.

Di sana Hermes terdiam. Dia mohon pamit dalam pembicaraan ini. Lelaki itu terhempas di atas kasur. Ada sakit, kalimat itu : Saya yakin jauh di sana dia sedang belajar menghargai.

Pertanyaan Hermes membuat Areta terseret dalam labirin masa lalu yang sulit diungkapkan. Ada rindu yang tiba-tiba muncul perlahan. Mereka kembali bertemu dalam kenangan.  Areta menumpahkan rasa rindunya dalam kotak cintanya dalam hening malam.

Hari ini, hari ulang tahun Dimas. Areta mengajak Dimas makan bersama di sebuah restoran di bilangan Jakarta Selatan. Dimas menolak, bukan karena Dimas tak mau, tapi karena Dimas punya rencana lain.

“Saya yang pilih tempatnya, Ya!” Jawab Dimas di ujung telepon.

“Mau kemana, Dim?”

“Kita besok ketemu saja, janjian di Monas jam 08.00 WIB!” Dimas mengakhiri pembicaraan di telepon.

Keesokan harinya Dimas jam delapan tepat hadir di Monas. Areta menyusul lima menit kemudian.

“Kita mau kemana, Dim?” Tanya Areta penasaran.

Dimas menyerahkan secarik kertas berkode. Areta menghela nafas. Lagi-lagi, Dimas tak serta merta menyerahkan jawaban kepada Areta.

“1862-MB12 – 132-SQUARE”.  Areta membaca keras. Kemudian ia tersenyum menang.

“Ini sih gampang! Teka tekinya engga ada yang susahan sedikit ya!” Areta berkata sambil tertawa lepas.

“1862 itu tahun didirikannya Museum Nasional atau Museum Gajah, kalau MB12 menurut saya sih karena ia terletak di Jalan Medan Merdeka Barat 12. Betul?” Areta tersenyum pada Dimas.

“Kalau yang kedua 132-SQUARE lebih gampang lagi. Monas. Tingginya 132 meter dan berbentuk kotak”. Areta selesai menjelaskan.

Dimas tersenyum melihat Areta.

“Pertama ke Museum Nasional, lalu ke Monumen Nasional. Kalau Areta tidak lelah saya mau ajak Areta ke Kota Tua”. Dimas dengan lembut dan mata dalamnya menjelaskan rencana perjalanan mereka.

“Dimas memang tau atau kebetulan, tau darimana kalau saya..suka..”

“Sudahlah ikut saja, mau kan?” Dimas berjalan di depan Areta, membiarkan Areta mengikutinya.

Dimas mencoba mencintai dengan cara sederhana dan santun. Dimas begitu jeli tanpa banyak berkata. Ia tau betul betapa Areta menyukai pelajaran sejarah. Setiap kali ke perpustakaan yang ada digenggaman Areta adalah buku sejarah perjuangan bangsa, tokoh nasional hingga indonesia masa kerajaan. Tak perlu banyak bertanya ini itu.

Kepala Areta berat untuk diangkat. Kemudian ia terbangun karena panggilan sang bunda. Matanya sembab. Semalam ia menghabiskan  larut malamnya bersama blognya. Ada torehan baru di sana, di kotak cintanya.  Pagi itu datang sebuah e-mail.

To : Areta_athema

From : 0803_simda

Luka

Saya melihat luka dalam kotak cintamu. Seperti sebuah rasa rindu yang dalam bagai sebuah palung dan begitu sakit seperti tertusuk sebuah mata pedang.

Athena, taukah kau dalam sebuah kisah Mitologi Yunani, kisah Psikhe dan Cupid yang terpisah namun saling merindukan. Psikhe begitu mencintai Cupid walaupun wujudnya tidak terlihat. Perpisahan mereka terjadi karena kesalahpahaman, mereka terpisah karena sesuatu hal. Kemudian Psikhe berjuang menemukan dewa pujaannya. Namun ia terhalang oleh banyak rintangan, Psikhe menunaikan semua rintangan satu persatu sampai ternyata ia sendiri yang harus terkena kutukan. Ia tertidur dalam sebuah kotak sampai akhirnya takdir mengantar Cupid menemukannya kotak itu.

Perpisahan bukan berarti berakhir. Apa kamu dapat merasakan bahwa dia di sana seperti Cupid yang juga merindukan Psikhe?

Areta tersenyum melihat barisan kalimat itu.  Hermes begitu nyata untuknya. Mengisi kekosongan setengah jiwanya. Sosok Hermes berganti menjadi Dimas. Silih berganti. Areta membalas e-mail itu.

To : 0803_simda

From : Areta_athena

Re-Luka

Seperti Psikhe yang kehilangan Cupid. Mungkin rasa ini sama, hanya ada satu yang membuat kami kuat bertahan, keyakinan. Ia pasti kembali.

Semalam, di malam hari itu menyeruak rindu yang sangat dalam, hingga tak tertahankan. Namun dengan siapa ia menyampaikan rasa rindunya selain kepada kotak cintanya? Aku punya rindu untukmu. Entah untuk siapa pesan ini. Kedua sosok itu hadir menjadi satu. Ada Dimas dan Hermes, keduanya memiliki kekuatan untuk dicintai. Areta butuh tempat untuk melamun sejenak. Lalu, ia menuliskan sebuah status pada Yahoo Messanger-nya. Dua cawan satu lingga. Tepat menatap senja. Kemudian ia matikan handphonenya. Pergi ke sebuah tempat.

Di ujung sana, seorang lelaki membaca status milik Areta. Kemudian ia mengulang kembali membaca kotak cinta Areta. Dalam kotak cinta itu terasa getir rindu telah menyayat hati gadisnya. Lelaki itu bangkit. Ini waktu yang tepat.

Lelaki memecahkan misteri pada status itu. Berjalan menyusuri ibukota. Di tempat itu ia melihat si gadis tengah menatap senja. Tiupan angin menyapu rambut hitam sang gadis di bawah bangunan pencakar langit ini. Dari balik punggungnya Hermes dapat melihat Areta. Kemudian perlahan ia duduk di sebelah gadis itu. Areta sedang melepas rindunya kepada senja.

Areta terdiam. Menatap lelaki itu.

“Dua cawan satu lingga. Tepat menatap senja. Itu artinya Monas di sore hari, bukan?”, Dimas berkata dengan tenang.

Areta kaget melihat Dimas di sampingnya. Seharusnya sudah bisa kuduga sejak awal. Aku terkecoh, lupa dengan permainannya. Terlalu bodoh mengabaikan sebuah angka dan huruf pada alamat e-mailnya yang menurut orang awam tanpa makna itu. Areta berkata pada dirinya sendiri.

“Kamu kembali setelah pergi?” Areta bertanya dingin. Ujung matanya melirik Dimas. Kini ia berkacamata.

Dimas menarik nafas dalam. Ingin sekai ia menatap Areta, tapi ia alihkan wajahnya ke matahari sore.

“Saya sudah satu bulan di sini” Dimas masih menatap lekat senja. “Ta, saya tau kamu tidak pernah menyadari ini. Tapi saya hanya ingin kamu tau pada saat yang tepat. Sejak lama saya menyadari bahwa kamu orang yang tepat untuk mengisi hidup saya. Saat pertama kali kita ada di rumah Baca Istana saya yakin kamu orang yang tepat”.

“Kamu pergi tanpa pernah mengatakan apapun.”

“Ta, saya menghargai kamu sejak dulu. Saya menginginkan kamu sebagi istri saya, bukan sebagai pacar saya. Saya tak ingin harapan saya pada kamu hancur karena ikatan proteksi berlebihan yang tidak perlu ketika kita harus berpacaran, itu bisa menyebabkan pertengkaran, emosi dan hubungan yang tidak baik. Padahal jalan kita masih sangat  panjang saat itu. Kita harus sama-sama menyelesaikan kewajiban kita untuk sekolah”. Dimas menjelaskan dengan tegas. “Saya tau kamu sakit, kamu marah, kamu benci karena saya tak pernah mempedulikan perasaanmu, Ta. Tapi saya tau, saya tau apa yang kamu rasakan. Jika kamu sakit, maka saya jauh lebih sakit. Saya ingin kita tumbuh dewasa dan dapat berpikir rasional”.

Areta tak sanggup menahan airmatanya. Ia tak mampu berkata apapun. Kemudian ia pergi meninggalkan senja. Senja, selalu dicintainya. Di kala matahari enggan pergi namun keheningan malam tak sabar ingin berkunjung pada manusia. Dia membiarkan dirinya larut dalam tangis, tidak untuk hari ini, tapi mungkin nanti dia akan kembali untuk jawaban yang berbeda. Butuh waktu, hanya itu.

0803_simda, seharusnya dari awal saya tau teka-teki ini, Agustus 2003 saat itu Dimas pergi ke Belanda, s-i-m-d-a, ini hanya sebuah anagram, permainan kata dari kata d-i-m-a-s.

February 8, 2011 - Posted by | Fiksi

2 Comments »

  1. ah.. aku suka membacanya

    Comment by ditie | February 10, 2011 | Reply


Leave a comment